Sabtu, 18 April 2009

Training Need Abalysis & Return Training Invesment

Training Need Analysis & Return of Training Investment
Training Description :
Salah satu upaya yang dapat dlakukan oleh manajemen dalam upaya mendukung tercapainya sasaran organisasi adalah pelaksanaan program pelatihan pegawai. Pelatihan dapat dianggap dapat memperkecil kesenjangan kebutuhan kompetensi yang diperlukan dalam memberikan unjuk kinerja dari setiap pegawai. Permaslahan sering timbul manakala jenis pelatihan yang akan diselenggarakan tidak memenuhi harapan tersebut karena prsoses identifikasi pelatihan lebih didasarkan pada sebuah proses rutin yang bersifat administratf semata.
Oleh karena itu proses mengidentifikasi kebutuhan pelatihan merupakan kegiatan penting yang harus dikuasai oleh praktisi SDM. Banyak metoda identifikasi yang dapat diterpkan, kemampuan untuk memilih metoda dan sekaligus menerapkan akan memberikan nilai tambah pada keberadaan Unit SDM sebagai fungsi pendukung utama dalam pencapaian strategi dan pencapaian sasaran organisasi.
Disamping itu kemampuan praktisi dalam mengevaluasi sebuah pelaksanaan pelatihan dapat digunakan sebagai sebuah alat (tools) yang membantu manajemen untuk mengetahui apakah investasi yang dikeluarkan dalam bentuk biaya pelatihan telah memberikan “return” yang memadai bagi manajemen atau tidak.
Para pengelola HR selama ini lebih banyak berbicara tentang manfaat sebuah pelatihan secara kualitatif, dengan gaya bahasa yang umumnya hanya dimengerti oleh orang-orang HR. Agar dapat membantu manajemen dalam mengambil keputusan strategis tentang penyelenggaraan program pelatihan maka sudah saatnya pengelola dan praktisi HR dapat menampilkan data dan informasi tentang manfaat dan dampak sebuah pelatihan secara kuantitatif dengan menggunakan “bahasa manajemen” yang lebih mudah dipahami.
Metode Pelatihan :
Metode yang digunakan dalam pelatihan ini adalah lektur, workshop, studi kasus dan konsultasi interaktif dan disertai dengan alat analisa menggunakan aplikasi Excel.
Outline :
DEFINITION TRAINING NEED ANALYSIS
LINKAGE COMPETENCIES TO TRAINING PROGRAM
METHODS FOR TRAINING IDENTIFICATION
STEP BY STEP IN DEVELOPING TRAINING NEED ANALYSIS
DEVELOP OBJECTIVE OF TRAINING
LEVEL OF TRAINING EVALUATION
DEVELOP EVALUATION PLANS AND BASELINE DATA
DATA COLLECTION DURING & AFTER TRAINING IMPLEMENTATION
HOW TO CONVERT DATA TO MONETARY VALUE
HOW TO DEVELOP CLEAR REPORT & MANAGEMENT LANGUAGE
Workshop Simulation in Application Excel Formula:
TASK ANALYSIS PROCESSES (TNA TOOLS)
KNOWLEDGE, SKILL, ATTITUDE IDENTIFICATION (TOOLS OF DESIGN TRAINING )
ROTI PROCESSES (TOOLS OF MEASURING IMPACT OF TRAINING)

TRAINING BERBASIS KOMPETENSI, UNTUK KINERJA SUPERIOR

Training berbasis kompetensi kini menjadi kiblat perusahaan modern. Training ini diharapkan menghasilkan karyawan berkualitas dengan kinerja terus meningkat. Beberapa perusahaan bahkan menerapkan training level-5, dimana Return on Investment (ROI) program training juga diukur. Hanya saja upaya menerapkannya tidaklah mudah.
Salah satu ciri organisasi modern dan profesional adalah sejauh mana ia menerapkan manajemen sumberdaya manusia berbasis kompetensi (Competency Based Human Resources Management/CBHRM). Kompetensi kini menjadi acuan dan dasar bagi manajemen perusahaan di dalam mengelola human capital-nya, mulai dari proses rekrutmen/seleksi, manajemen kinerja, training dan pengembangan, manajemen karyawan potensial (talent), hingga retensi dan remunerasi. Rubrik Fokus kali ini mengupas salah satu aspek penting CBHRM, yakni training berbasis kompetensi (Competency Based Training).
Implementasi training berbasis kompetensi tentunya harus dimulai dengan penyusunan peta kompetensi yang dibutuhkan perusahaan. Tidak mungkin perusahaan mengembangkan training berbasis kompetensi tanpa didahului dengan penyusunan peta kompetensi tersebut. Dari peta kompetensi yang diinginkan itu, perusahaan kemudian melakukan pemetaan kompetensi yang ada saat ini di seluruh bagian organisasi perusahaan. Di situ biasanya kelihatan gap kompetensi. "Gap ini harus diisi dengan melaksanakan pro-gram training berbasis kompetensi,” tutur Dr. AS Ruky, konsultan SDM dari Ruky R Rekan Consulting, dan mantan Direktur Indofood, Semen Cibinong, dan Mercedes-Benz Indonesia.
Banyak definisi tentang kompetensi yang disampaikan para ahli. Dr. Lyle M. Spencer, Jr. dan Signe M. Spencer, penulis buku terkenal”Competencies at Work, Models for Superior Performance, mengatakan kompetensi adalah karakteristik dasar dari seseorang yang membuatnya bisa menghasilkan kinerja efektif dan/atau kinerja superior dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Karakteristik dasar mengindikasikan perilaku dalam berbagai situasi dan bertahan untuk jangka waktu yang lama.
Namun secara sederhana, kompetensi sering didefinisikan Sebagai kombinasi pengetahuan (knowledge), keahlian (skill), dan kebiasaan (ability) yang mempengaruhi kinerja kerja. Dengan demikian, kompetensi tidak berhubungan secara langsung dengan kemampuan intelektual (IQ), tetapi lebih banyak terkait dengan perilaku (behavior). Perilaku orang-orang yang kompeten dengan tidak kompeten akan mudah untuk dibedakan. Maka, bila perusahaan Anda lebih mementingkan aspek perilaku saat menilai orang daripada IQ (saat rekrutmen maupun Assessment Center, misalnya), itu berarti perusahaan Anda sudah memiliki fondasi manajemen berbasis kompetensi.
Dalam istilah Sintawati Putri, Senior Consultant PT Daya Dimensi Indonesia (DDI), peta kompetensi itu adalah profil kompetensi, yakni jenis perilaku yang diharapkan untuk setiap jenis kompetensi. Banyaknya jenis kompetensi dan rumitnya organisasi perusahaan menyebabkan pengembangan kompetensi di sebuah perusahaan memerlukan waktu lama dan biaya cukup besar. “Itu sebabnya, pcrusahaan yang sudah mulai melangkah dalam tahap awal pengembangan kompetensi biasanya semakin tergerak untuk melangkah ke tahap lebih lanjut, termasuk dalam bidang training,” ungkapnya.
Mengisi Gap Kompetensi
Gap kompetensi menjadi acuan sejauh mana dan seberapa banyak program training harus dilakukan. Semakin besar gap tersebut, maka upaya training harus semakin besar pula. Program training tersebut, menurut Chief Manager Training I Development Division BCA (BCA Learning Center) Michael Adryanto, harus disesuaikan dengan strategi perusahaan. Ini merupakan wujud nyata dari penyelarasan (alignment) manajemen sumberdaya manusia dengan strategi bisnis perusahaan.
Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir pasca krisis ekonomi, strategi bisnis BCA terfokus kepada pengembangan bidang perkreditan, karena selama ini BCA tidak banyak menyalurkan kredit seperti dilakukan bank lain. Saat masih dimiliki Salim Group, BCA banyak menjalankan usaha menghimpun dana masyarakat sebanyak-banyaknya dan menjadi transactional bank. Sumber utama BCA adalah pendapatan berbasis fee (fee based income), dan setelah krisis ditambah dengan bunga obligasi rekap.
Kondisi ini menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR) BCA sangat rendah, dan belakangan berdampak pula pada profitabilitas. Laba bersih BCA dengan aset yang jauh lebih besar kalah dibandingkan dengan Bank Danamon. BCA menyadari hal ini, dan berupaya mengembangkan bidang perkreditan tersebut secara sungguh-sungguh dalam beberapa tahun terakhir. Tahun 1999, total kredit BCA baru sekitar Rp 3 triliun, sedangkan dana pihak ketiganya Rp 40 triliun lebih. Per Desember 2004, outstanding kredit BCA sudah mencapai Rp. 40,6 triliun dengan total dana pihak ketiga Rp 130 triliun lebih. LDR-nya baru 31%, masih jauh dari ketentuan ideal 70%-75%. ”Tetapi, itu sudah merupakan sebuah loncatan yang luar biasa cepat,” kata Michael.
Maka, program training untuk meningkatkan kompetensi perkreditan masih akan terus dijalankan BCA dalam beberapa tahun ke depan, kendati kompetensi lainnya juga tidak dilupakan. Sebagai contoh, tak kurang dari 26 materi training tersedia dalam Program Reguler selama 2005 di bidang kredit dan pemasaran. Mulai dari dasar-dasar kredit hingga manajemen risiko kredit dan pencegahan/ penyelesaian kredit bermasalah. Total 12.528 student days. Selain bidang kredit & pemasaran, training juga diselenggarakan di bidang operasional (5.671 student days) dan manajemen/pengembangan diri (7.029 student days).
Berbeda dengan Program Reguler, dalam kategori berikutnya (Program Divisi) fokus training malah lebih banyak dalam aspek operasional (22.256 student days) dibandingkan aspek kredit dan pemasaran (5.904 student days), manajemen/pengembangan diri (1.459 student days), dan servis (1.683 student days).
Training berbasis kompetensi mencakup hard/technical competencies dan soft competencies. Kompetensi teknikal relatif mudah diajarkan ketimbang soft competencies karena bersifat baku, kuantitatif, dan mudah diukur serta dirasakan. Lain halnya dengan soft competencies seperti motivasi, perilaicu, kepemimpinan, integritas, kemampuan analisis, dan sejenisnya. Soft competencies juga sangat tergantung dari nilai dan budaya perusahaan. Kebanyakan perusahaan perbankan mengutamakan nilai-nilai kejujuran atau integritas “Di BCA itu nomor satu,” kata Michael, sambil menambahkan, "Lebih baik kami merekrut orang yang tidak terlalu pintar tetapi jujur daripada orang pintar namun tidak jujur."
Lyle M.Spencer dan Signe N. Spencer menegaskan bahwa kompetensi bisa diajarkan. Studi menunjukkan bahwa kompetensi tersulit pun bisa diajarkan, seperti kompetensi motivasi (orientasi) dan sifat bawaan macam percaya diri (selalu optimistis, mampu mengendalikan emosi/stres, tidak takut gagal, dan konsep diri). Para ahli meyakini bahwa untuk sukses mendesain sebuah program pembelajaran diperlukan 6 langkah: pengakuan, pemahaman, asesmen pribadi, praktik keahlian, aplikasi pekerjaan, dan dukungan tindak lanjut.
Langkah pertama (pengakuan) bertujuan agar peserta yakin bahwa kompetensi yang akan diajarkan ada dan penting untuk bisa menjalankan pekerjaan dengan baik. Langkah kedua (pemahaman di mana peserta diajarkan tentang kompetensi baru dan bagaimana mempraktikkannya. Langkah ketiga (asesmen pribadi) memberikan kesempatan kepada peserta untuk menilai kompetensinya dibandingkan dengan orang yang dianggap memiliki kinerja superior.
Langkah keempat (praktik keahlian), peserta mempraktikkan apa yang dipelajari dalam simulasi sebenarnya, dan mengetahui perbedaan kompetensi mereka dengan kompetensi superior, Langkah kelima (aplikasi pekerjaan), peserta menyusun target/tujuan dan rencana aksi bagaimana mereka memanfaatkan kompetensi itu dalam pekerjaan sebenarnya. Adanya penyusunan tujuan tersebut meningkatkan pencapaian dari 5%-20% menjadi 60%-70%. Produktivitas pun ikut naik. Langkah keenam (dukungan tindak lanjut) adalah dengan berbagi informasi dengan pihak lain (termasuk supervisor) tentang pemanfaatan kompetensi tersebut.
John Raven, penulis buku Education, Values, and Society: the Objective of Education and the Nature and Development of Competence, pernah mengatakan bahwa pendidikan berbasis kompetensi terhambat oleh sulitnya mengevaluasi atau mengukur kompetensi yang telah dipelajari. Keluhan semacam ini kini semakin jarang ditemukan. American Management Association menggunakan 3 kriteria untuk mengukur kompetensi: tes kinerja tertentu, demonstrasi kompetensi dalam simulasi Assessment Center, dan dokumentasi kinerja dalam pekerjaan.
Studi evaluasi terhadap training berbasis kompetensi menunjukkan terjadinya perubahan perilaku dan memberikan nilai tambah bagi organisasi. M.J. Burke dan R.R. Day dalam tulisannya yang dimuat dalam Journal of Applied Psychology mengungkapkan, training berbasis kompetensi bisa menaikkan produktivitas 29%-32%. Namun manfaat utama, sejatinya, adalah kenaikan kinerja. Kecuali itu, training berbasis kompetensi bisa memperpendek kurva belajar orang-orang baru. Seorang profesional baru direkrut rata-rata butuh setahun untuk benar-benar produktif (berdasarkan kinerja rata-rata dari tenaga berpengalaman). Karena training berbasis kompetensi dilaksanakan berdasarkan perilaku orang dengan kinerja superior, maka kurva belajar rekrutmen baru lebih pendek sepertiga hingga setengah kali dari format standar – plus kinerja rata-rata yang lebih tinggi.
Butuh Komitmen Pimpinan
PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) telah menerapkan CBHRM semenjak tahun 1998 sehingga telah memiliki matriks kompetensi. Gap kompetensi karyawan dengan matriks itu menjadi dasar pelaksanaan training. Menurut Wahyudin Yudiana Ardiwinata, Presiden Direktur CPI, perusahaannya melakukan analisis kebutuhan training sebelum menyusun program training. Program training berbasis kompetensi itu disiapkan sesuai dengan jenis pekerjaannya:teknisi, operator/administrasi, profesional, dan bagi pemimpin yang dinamis. Khusus untuk pemimpin, CPI memiliki Behavior Competencies for Leader. “Training kompetensi untuk pemimpin diarahkan untuk mewujudkan perilaku pemimpin sesuai dengan nilai-nilai perusahaan atau Chevron Way,” ungkapnya.
Pengukuran efektivitas dari training berbasis kompetensi dewasa ini banyak memanfaatkan konsep training level 4 hingga level 5. Level 1 menyangkut reaksi peserta terhadap program training, tertarik atau tidak. Pengukurannya dilakukan langsung di bagian akhir training. Level 2 pemahaman terhadap apa yang dipelajari. Evaluasi bisa dilakukan berupa pretest maupun posttest. Level 3 perubahan perilaku. Setelah reaksinya positif, paham, maka level berikutnya harus dievaluasi apakah terjadi perubahan perilaku di tempat kerja. Evaluasi dilakukan 6 bulan sampai setahun setelah ia kembali ke tempat kerja. Level 4 kinerja, apakah kinerjanya membaik. Penilaian bisa dilakukan atasan maupun rekan kerja. Beberapa perusahaan, bahkan mulai mengukur hingga level 5, yaitu seberapa signifikan kenaikan kinerja kuantitatif (Return on Investment/ROI).
PT Tetra Pak, misalnya, membagi evaluasi ke dalam dua bagian, yaitu potential evaluation (potensi atau kemampuan seorang karyawan secara keseluruhan) dan individual objective (lebih menitikberatkan pada pencapaian target individu). Untuk menghilangkan objektifitas penilaian, menurut Yodi Effendi, HR Director Tetra Pak, pihaknya meminta setiap hal terkait evaluasi efektifitas training harus ada penjelasannya. “Sebab, ada kalanya materi yang diberikan kepada karyawan tidak sesuai dengan kebutuhan karyawan,” tukasnya.
SCS Astragraphia Technologies juga memiliki mekanisme evaluasi melalui 2 jalur: Individual Development Plan (IPP) yang menekankan pada job target dan Annual Performance Review (APR) yang fokus pada perilaku agar bisa mencapai job target. Triharry Darmawan Oetji, Head of HR Development, mengemukakan alat ukur lainnya adalah Human Asset Value Mapping (HAVM), yang membandingkan kompetensi seseorang dengan kinerjanya. “Belum tentu keduanya sejalan,” katanya.
Evaluasi tidak hanya diperlukan terhadap individu yang mengikuti training, tetapi diperlukan pula terhadap program training itu sendiri. Bila kompetensinya tidak tercermin dalam kinerja, maka kesalahan bisa saja terjadi terhadap program training itu sendiri. Jamaknya evaluasi itu dilakukan setahun sekali. Apakah training tetap diteruskan, dihentikan, atau diteruskan dengan catatan sangat tergantung dari hasil evaluasi tersebut.
Tidak semua perusahaan mewajibkan karyawannya untuk mengikuti setiap training kompetensi. Kebanyakan perusahaan multinasional menyerahkan sepenuhnya pilihan training kepada karyawan sesuai kebutuhannya. “Saya tinggal mengakses program training yang disediakan Oracle melalui program e-learning,” tutur Diski Naim, Senior Consultant Oracle Indonesia. Hal yang sama terjadi di HP Indonesia, Tetra Pak, SAP, dan sebagainya.
Tersedianya fasilitas e-learning sangat membantu proses training dan pembelajaran individu, meskipun banyak perusahaan Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan potensi e-learning tersebut. Mayoritas perusahaan lokal baru memanfaatkan potensi e-learning untuk training aspek teknis, belum banyak menyentuh aspek soft competencies. “Tetapi ini soal waktu saja,” kata Felicianus Manurur, VP Department Head Training Program Design Bank Mandiri, beberapa waktu lalu.
Dalam menyusun program training berbasis kompetensi, perusahaan bisa saja melibatkan pihak konsultan. Idealnya hal tersebut tidak diserahkan sepenuhnya kepada konsultan. Bagaimanapun yang paling tahu nilai-nilai, perilaku, dan kompetensi yang dibutuhkan perusahaan adalah kalangan internal perusahaan. Ini yang dilakukan BCA. Beberapa program training yang sifatnya non-teknis dibeli dari perusahaan untuk diterapkan sendiri. Ada juga program training soft competencies disusun bekerjasama dengan konsultan teman-teman langsung dibawakan oleh konsultan tersebut. Kepada sang konsultan, BCA mengajukan kebutuhannya, dan konsultan nanti akan datang dengan materi training. Proses pemantapan materi bisa berlangsung hingga 3 bulan.
Keberhasilan implementasi training berbasis kompetensi – sama seperti penerapan program berbasis kompetensi lainnya – sangat ditentukan oleh tersedianya dukungan penuh dari jajaran pimpinan perusahaan. Tanpa komitmen penuh dari jajaran pimpinan, training berbasis kompetensi sulit untuk berhasil. Selain karena membutuhkan biaya lumayan besar dan butuh waktu, para pimpinan berperan aktif menilai kompetensi bawahan dan mau menyediakan waktu untuk memilih program training yang sebaiknya diambil bawahan tersebut.
Selepas training, para pimpinan juga harus ikut melakukan evaluasi seberapa efektif dampak dari program training tersebut terhadap karyawan. Ini sejalan dengan salah satu fungsi utama dari pemimpin: memberdayakan dan mengembangkan bawahan. Pada tahap berikutnya, training berbasis kompetensi harus tercermin pula pada program pengembangan, sistem promosi, dan kompensasi perusahaan. Kalau tidak, efek dari training tidak berusia lama dan karyawan yang kompeten akan cenderung cepat berpindah kerja. Sayang, kan?

EVALUASI EFEKTIVITA PELATIHAN/TRAING

Evaluasi Efektivitas Pelatihan/Training
oleh Martin E. SusiloDengan semakin meningkatkan kesadaran bahwa pelatihan adalah sebuah investasi yang sangat perlu untuk perkembangan dan kemajuan perusahaan maka efektivitas atau daya pengaruh pelatihan menjadi semakin penting. Manajemen akan tidak memusingkan lagi pelatihan apakah yang akan diberikan kepada karyawan, namun mereka lebih fokus pada apakah hasil dari pelatihan, apakah pelatihan yang sudah diberikan kepada karyawan dapat memberikan perubahan pada kemajuan perusahaan. Di sini, kita akan bicara mengenai metodologi untuk mengevaluasi seberapa efektifkah pelatihan.Seorang Donald L Kirkpatrick, Professor Emeritus, University Of Wisconsin (tempat dia meraih BBA, MBA dan PhD), pertama kali mempubilkasikan idenya tentang level evaluasi pelatihan pada tahun 1959, di sebuah artikel jurnal US Training and Development. Menurutnya, ada empat level yang harus dievaluasi untuk menentukan efektivitas suatu pelatihan.Keempat level yang dimaksud adalahLevel “reaction”: mengenai apakah yang dirasakan dan dipikirkan peserta pelatihan tentang pelatihan yang sudah diikutinya.Level “learning”: mengenai bagaimana perkembangan pengetahuan atau kemampuan peserta setelah mendapat pelatihan. Apakah dia menjadi semakin pintar? Apakah dia menjadi semakin termpil?Level “behavior”: apakah terjadi perubahan sikap (menjadi lebih baik) setelah mengikuti pelatihan, apakah setelah pelatihan para peserta tidak mengulangi lagi habitus lamanya? Adakah habitus professional yang baru yang dilakukannya setelah pelatihan?Level “result”: apakah ada dampak pelatihan pada kinerja perusahaan/organisasi?Tidak sedikit perusahaan yang hanya melaksanakan evaluasi pada level satu dan level dua saja yaitu cukup mengetahui apakah peserta suka atau tidak dengan pelatihannya dan juga apakah peserta mengerti tidak dengan materi yang diberikan. Ketika perusahaan hanya melaksanakan eveluasi selevel ini maka tak jarang pelatihan yang dilaksanakan sebenarnya tidak efektif namun pelatihan yang sama tetap akan diberikan tahun depan. Ini namanya pemborosan bukan?Setiap level evaluasi memiliki alatnya masing-masing, dan juga memiliki tingkat kesulitan sendiri-sendiri dalam melaksanakan pengukurannya. Level “reaction” relative lebih mudah dilaksanakan, alat yang digunakan misalnya sebuah cek list yang memuat pertanyaan seperti bagaimana pendapat peserta tentang materi, trainer, metode penyampaian, makanan, ruangan, waktu. Sementara level “learning” evaluasinya dapat dilakukan dengan memberikan pre dan post test sebelum dan sesudah pelatihan kemudian dibandingkan adakah perbedaaan atau perkembangan pengetahuan. Evaluasi pada level “behavior” dapat dilakukan dengan pengamatan/observasi setelah pelatihan pada keseharian peserta dalam menjalankan tugasnya dan juga bisa dengan wawancara. Observasi dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan habitus menjadi lebih baik. Metode ini biasanya menjadi tanggungjawab manajer. Sementara level “result” dilakukan evaluasi terhadap perubahan kinerja perusahaan misalnya membandingkan nilai omset, profit, tingkat kesalahan, waktu proses kerja, dan ROI periode sebelum dan sesudah ada pelatihan.Gambar diambil dari oleh http://formosdesignsconsulting.com/services.htm

Teknik Evaluasi pelatihan dan Perhitungan ROTI


3 Jenis Training Need Analysis
Artikel HR Management Add comments
Proses pelatihan akan berjalan lebih optimal jika diawali dengan analisa kebutuhan training yang tepat. Dalam hal ini terdapat tigas jenis analisa kebutuhan training atau training need analysis yang bisa di-eksplorasi, yakni : task-based analysis, person-based analysis, dan organizational-based analysis. Mari kita mendiskusikannya secara lebih detil.
Task AnalysisAnalis yang berfokus pada kebutuhan tugas yang dibebankan pada satu posisi tertentu. Tugas dan tanggungjawab posisi ini dianalisa untuk diketahui jenis ketrampilan apa yang dibutuhkan. Dari sini, kemudian dapat ditentukan jenis training semacam apa yang diperlukan. Jadi dalam analisa ini, yang menjadi fokus adalah tugas posisi, bukan orang yang memegang posisi tersebut.
Melalui metode task analysis ini, kita kemudian bisa menyusun semacam kurikulum pelatihan yang bersifat standard dan terpadu. Artinya, melalui analisa tugas dan spesifikasi yang dibutuhkan oleh setiap posisi, maka kita kemudian bisa merumuskan jenis-jenis pelatihan tertentu untuk setiap posisi tersebut. Beragam jenis pelatihan ini kemudian distandardkan dan menjadi pelatihan yang wajib diikuti oleh setiap orang yang menduduki posisi tersebut.
Person AnalysisAnalis yang berfokus pada level kompetensi orang yang memegang posisi tertentu. Analisa ditujukan untuk mengetahui kekurangan dan area pengembangan yang dibutuhkan oleh orang tersebut. Dari sini, kemudian dapat disusun jenis training apa saja yang diperlukan untuk orang tersebut.
Dalam analisa ini biasanya telah ditetapkan beragam jenis kompetensi dan juga standar level kompetensi yang diperlukan untuk suatu posisi tertentu. Misal, untuk posisi manajer diperlukan penguasaan terhadap 8 jenis kompetensi (misal, kompetensi leadership, communication skills, dll). Kemudian juga telah ditetapkan, bagi para manajer maka standard level untuk ke-8 jenis kompetensi itu adalah 5 (dari skala 1 – 5). Langkah berikutnya adalah para manajer akan di-ases untuk melihat level kompetensi-nya, apakah ia sudah berada pada level 5 untuk semua jenis kompetensi itu atau belum. Jika belum, pada jenis kompetensi apa saja. Misal, ia masih perlu perbaikan dalam kompetensi communication skills. Maka bagi yang bersangkutan diberikan training mengenai communication skills.
Organizational AnalysisAnalisa kebutuhan pelatihan yang didasarkan pada kebutuhan strategis perusahaan dalam merespon dinamika bisnis masa depan. Kebutuhan strategis perusahaan dirumuskan dengan mengacu pada dua elemen pokok :• Corporate Strategy• Corporate Values
Sebagai misal, sebuah bank akan lebih agresif untuk memasuki pasar usaha kecil dan menengah. Untuk itu diperlukan keahlian dalam membidik pasar UKM. Disini pihak pengelola training bisa merancang serangkaian training yang ditujukan untuk membekali para bankirnya dengan kemampuan teknis mengenai UKM.
Contoh lain, sebuah perusahaan memiliki budaya perusahaan dimana salah satu elemen values yang ingin dikembangkan adalah customer focus. Berdasar ini maka pihak pengelola training bisa merancang program pelatihan customer service, dan mewajibkan segenap karyawan pada semua level untuk mengikuti program pelatihan ini.
Jika Anda ingin mendapatkan slide powerpoint presentasi mengenai Training Need Analysis, silakan klik DISINI.